Selasa, 17 September 2024

RESENSI NOVEL THE MURDER OF KING TUT

Judul Asli : The Murder Of King Tut
Judul Terjemahan : Pembunuhan Raja Tut
Penulis : James Patterson & Martin Dugard
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Alih Bahasa : Julanda Tantani
Desain Sampul : Eduard Iwan Mangopang
Tebal : 392 halaman
Ukuran : 20 cm
ISBN : 978-979-22-9713-3
Rating : ★★★★★



BLURB

Tutankhamun, si Raja bocah, terpaksa naik tahta pada usia sembilan tahun. Baru sembilan tahun memerintah, Raja Tut wafat tiba-tiba, namanya lenyap dari sejarah Mesir dan sampai pada hari ini kematiannya masih terselubung misteri.

Howard Carter berniat mengungkap jawaban atas misteri yang telah berumur tiga ribu tahun ini dan bertekad untuk menemukan makam tersembunyi sang Firaun. Dia memulai penelitiannya pada tahun 1907, namun menghadapi banyak halangan, sebelum akhirnya usahanya membawa hasil.

Berdasarkan bukti-bukti X-ray, arsip-arsip Carter, dan lain-lainnya, James Patterson dan Martin Dugard menyusun kisah tentang kehidupan dan kematian Raja Tut dalam sebuah novel yang penuh intrik dan pengkhianatan.

⏩⏪

Howard Carter seorang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap ilmu Mesir Purbakala, dimana ia pada umur tiga belas tahun telah membantu ayahnya mengerjakan proyek pengecatan bagi Lord Amherst, seorang anggota parlemen yang menaruh minat tinggi pada benda-benda seni purbakala. Howard sangat menyukai tempat perpustakaan pribadi Lord Amherst, ruangan yang mempesona dan dipercantik dengan patung-patung raksasa yang diimport langsung dari padang gurun Mesir. Ia merasa menjelajah ke sekeliling dunia bila berada di tempat itu. Lord Amherst menyadari betapa Carter sangat tertarik dengan semua benda seni dan buku kuno yang ada di perpustakaannya sehingga ia dengan sangat senang membimbing Carter menjelaskan makna penting dari sejumlah buku dan benda langka koleksinya. Lord Amherst memberikan kunjungan tanpa batas padanya untuk dapat mempelajari semua ilmu Mesir purbakala dan mendukung Carter memperdalam ilmu tersebut.

Howard pada usia 17 tahun di tawari sebuah pekerjaan sebagai pembuat sketsa oleh Perky Newberry, seorang ahli purbakala Mesir. Tugaas Carter adalah membuat sketsa dari lukisan-lukisan yang ada  di dinding makam para Firaun. Carter pun menerima tawaran tersebut, tentunya di dukung pula oleh Lord Amherst yang telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga.

Kembali ke masa silam, Amenhotep IV (atau yang kemudian disebut dengan Akhenaten) mempunyai seorang istri yang cantik bernama Nefertiti, dan dikaruniai tiga anak perempuan. Amenhotep menjadi Firaun menggantikan Ayahnya, yakni Amenhotep, pada usia 20 tahun, akan tetapi ia memiliki banyak kekurangan secara fisik sehingga banyak yang menganggapnya sebagai orang aneh. Selama pemerintahannya  Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten dan mengubah pemujaan dewa hanya kepada dewa matahari yakni aten. Ia pun membangun kota baru di Amarna yakni di tengah-tengah kota Thebes dan Memphis. Ia bertindak sesuka hati, tidak mempedulikan lagi akan negara yang dipimpinnya sehingga rakyat pun menderita. Setiap hari ia hanya mendiami istana barunya, tidak mau lagi mengurus kota Thebes dan Memphis senhingga ke dua kota itu mengalami kemunduran yang pesat dan Mesir menjadi negara yang lemah.

Raja Tutankhamun atau Tut sendiri adalah anak dari Amenhotep IV dengan selir mudanya, yang bernama Kiya. Kiya adalah putri dari raja Mitannian yang dikirim ke Mesir oleh ayahnya sebagai hadiah perdamaian antara kedua negara. Namun Kiya meninggal ketika melahirkan Tut sehingga bayi laki-laki itu di asuh oleh Nefertiti, sang permaisuri. Tut kemungkinan besar yang akan menggantikan ayahnya kelak sebagai Firaun selanjutnya karena ia adalah anak laki-laki satu-satunya dari Amenhotep IV. 

Setelah Amenhotep IV wafat maka Ratu Nefertiti menggantikannya sebagai Firaun karena Tut masih berumur 6 tahun dan belum dapat menggantikan ayahnya menduduki tampuk pemerintahan. Setiap hari Tut di tempa, dibina, dididik untuk dapat menguasai berbagai macam hal, seperti keahlian memanah, mempelajari hieroglif, mempelajari mengendarai kereta perang dan masih banyak lagi. Dalam dirinya telah mempunyai keinginan untuk memimpin para pejuang Mesir di medan perang, ia sering membayangkan dirinya mengendarai kereta perang, dengan dua ekor kuda jantan yang gagah perkasa di hadapannya dan ribuan prajurit yang siap mematuhi perintahnya.

Setelah Nefertiti wafat maka Tut naik takhta menjadi Firaun, namun sebelum naik tahkta ia menikahi saudara tirinya yakni Akhesenpaaten karena seorang Firaun di takdirkan untuk menghasilkan keturunan yang murni berdarah biru, bukan setengah bangsawan seperinya. Sedangkan Akhesenpaaten adalah murni berdarah biru dan merupakan anak dari Nefertiti, yang berarti ia adalah saudara perempuan dari Tut walau beda ibu.

Semenjak Tut kehilangan anak pertamanya, ia menyibukkan diri untuk melampiaskan hasrat  berperangnya. Ia menjadi sering berpergian  untuk belajar ilmu perang dan tak begitu peduli lagi pada istrinya. Peperangan pertama yang dipimpinnya menemui kemenangan, sebagai bukti bahwa ia adalah seorang raja yang ksatria. Namun, hal ini tidaklah cukup bagi para pejabat yang tidak menyukai Tut sebagai raja karena ia hanyalah seorang anak dari selir yang tidak berdarah biru, sedangkan ratu sampai saat ini pun belum dapat memberikan keturunan sebagai peawaris tahta untuk melanjutkan kepemimpinan Mesir, lengkaplah sudah kesalahan Tut yang membuatnya semakin tidak disukai oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya.

Kondisi ini memicu adanya rencana penghianatan di dalam istana, terlebih setelah Tut diketemukan mengalami kecelakaan dan tidak sadarkan diri. Hari demi hari kondisi Tut masih saja belum pulih, infeksinya semakin parah lalu akhirnya sang raja pun wafat. Namun tempat persemayaman untuk sang raja jauh berbeda dengan para Firaun sebelumnya, ia disemayamkan jauh di dalam perut bumi dengan bilik yang sederhana, kecil dan tidak banyak ditampilkan lukisan dinding mengenai dirinya. Dengan mangkatnya sang raja maka semakin panas pula intrik perebutan kekuasaan dalam istana bahkan sang ratu pun tidak dapat berbuat apa-apa. 

Kembali kemasa kini, Carter semakin ambisius untuk menemukan persemayaman Raja Tut karena namanya hanya tercantum sekali pada sebuah patung Mesir, misteri itulah yang ingin dia pecahkan. Ia yakin akan adanya sesuatu yang terjadi di masa itu yang membuat Raja Tut tidak terkenal layaknya Firaun-Firaun lainnya.

⏩⏪

Novel ini beralur maju mundur, menggabungkan fakta sejarah masa silam dengan masa kini. Nama Amenhotep perkasa, Nefertiti, Amenhotep IV, Akhesenpaaten adalah fakta sejarah Mesir dan Howar Carter juga bagian dari fakta seorang arkeolog yang menghabiskan waktunya untuk melakukan berbagai macam penggalian makam Firaun. Novel ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan cerita antara masa silam dengan masa penggalian Howard Carter saling melengkapi sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik. 

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh penulis, ia berpendapat bahwa Tut dibunuh, namun sejarah mencatat bahwa Tut wafat karena infeksi pada kakinya akibat kecelakaan. Anehnya lagi makam Tut sangat sederhana untuk sebuah makam Firaun dan tempatnya terpencil, serta tidak terdapat makam istri yang mendampinginya. hal ini mungkin yang membuat penulis mengangkat cerita tentang raja bocah ini agar bisa memberikan informasi mengenai sejarah masa silam yang terjadi yang dikemas menjadi sebuah novel sejarah yang fantastis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar