Selasa, 20 Desember 2022

RESENSI DON'T CRY

 Judul Asli: Don't Cry

Judul Terjemahan : Jangan Teteskan Air Mata

Penulis : Beverly Barton

Penerbit : Dastan

Cetakan : 1, April 2014

Tebal : 523 halaman

Peresensi : Elok Mayangsari

Seorang wanita berambut gelap duduk di kursi goyang dengan mata tertutup seolah sedang tidur. Dipangkuannya terdapat sebuah selendang biru yang sedang membungkus sesuatu, seperti bayikah atau boneka. Ia memang terlelap sangat damai hingga tak kan pernah lagi membuka mata, dan selendang biru itu membalut tulang belulang seorang anak kecil. Pelaku sepertinya memang berusaha keras memposisikan korbannya agar terlihat sangat dramatis atau memang ia sedang memberikan sebuah pesan, mungkin, entahlah. Korban bernama Jill Scott salah satu dari 2 wanita yang hilang entah kemana. Tulang belulang anak kecil ini ternyata adalah korban penculikan 30 tahun yang lalu. Kasus yang tak pernah selesai karena dalam periode 5 tahun telah hilang 7 anak kecil yang hingga kini tak diketahui keberadaannya. Regina Bannet adalah wanita yang diyakini telah menculik ke 7 anak itu dan beruntungnya korban ke 7 berhasil diselamatkan. Regina berakhir di rumah sakit jiwa dan beberapa waktu yang lalu telang meniggal. Namun masih ada ganjalan karena Regina bersikeras bahwa ia hanya membunuh 1 anak saja yakni anak kandungnya sendiri yang bernaqma Cody, sementara untuk 6 anak lain tak pernah ditemukan dan kasus dibiarkan begitu saja. 

Korban pertama, Jill Scott menggendong anak kecil yang pertama kali hilang, yakni Keith, korban ke dua yakni Debra menggendong Chase yang merupakan anak kecil ke 2, ia sepertinya memang merencanakan dengan matang untuk mengembalikan semua korban anak kecil yang menghilang kepada orang tua mereka meski hanya tersisa tulang-tulangnya saja. Perburuan ini masih terus berlanjut hingga ia bisa menepati janjinya dengan Regina agar dapat bersatu kembali dengan Cody. Korban yang dipilih selalu identik, ia hanya ingin korbannya memberikan kasih sayang untuk Cody, menyanyikan lagu nina bobok sebagai penghantar tidur yang indah dan sesuai instruksinya meletakkan bantal di tulang-tulang kecil yang ia dekap sambil terus bernyanyi dan setelah itu ia yang akan membekap korbannya hingga tak dapat bernapas. Dan sekali lagi ia merasa Regina kembali bersatu dengan Cody. 

Sangat menarik, seru, tegang, apalagi pada bagian bahwa ternyata bukan 6 anak yang hilang, namun hanya 5, lalu kemana hilangnya anak laki-laki yang satu lagi?. Ternyata demi kasih sayang seorang kakak pada adiknya yang menderita depresi, ia harus menyembunyikan kebohongan yang sangat besar selama 30 tahun. Tak peduli kebohongan ini membuat 2 keponakannya mengalami trauma, insomnia,mimpi buruk sepanjang masa. Bahkan demi menutupinya ia rela mengorbankan satu nyawa lagi agar karier dan jabatannya tetap terjaga. Ambisi memang selalu membuat cara berpikir menjadi kotor dan mampu melakukan hal di luar batas kewajaran.

Selasa, 13 Desember 2022

RESENSI CLOSE ENOUGH TO KILL BEVERLY BARTON

 Judul : Close Enough To Kill

Penulis : Beverly Barton

Penerbit : Dastan

Cetakan : 1, September 2008

Tebal : 523 halaman

Peresensi : Elok Mayangsari

Perlakuan yang di dapat dari masa remaja seringkali menimbulkan kesan mendalam sepanjang usia. Ia bukan anak populer, hanya seorang remaja kutu buku dan berkacamata tebal hingga kerap kali diasingkan karena mereka memandang sebelah mata, begitu pula dengan para gadis populer yang tidak mau bersentuhan dengan laki-laki yang aneh menurut mereka. Hingga suatu saat kelompok gadis populer, yang cantik, manja, angkuh menyapa dan mengajaknya bertemu dengan alasan ingin kutu buku ini bergabung dalam kelompok populernya. Namun sebelum itu tentu saja ada syarat uji coba yang akan dilakukan terlebih dulu. Pria remaja ini tanpa berpikir panjang mengikuti permainan karena sangat ingin menjadi terkenal namun yang terjadi sangat menyakitkan dan membuatnya mengalami gangguan jiwa karena ia dilecehkan dengan disuruh berhubungan badan dengan seekor anjing besar yang ganas. 

Penderitaan psikis yang mendalam menimbulkan dendam yang sangat rapi tertutup. Melvin mengubah jati dirinya dan mulai merencanakan serangkaian pembalasan sadis untuk ke 4 gadis yang melecehkannya. Ia kira dengan membunuh 4 gadis itu maka kebencian akan terbalaskan namun yang timbul adalah rasa ketidak puasan dan  untuk mengatasinya ia mulai mencari gadis populer bermata coklat sebagai korban-korban selanjutnya. Dimulai dengan menguntit mereka untuk mengetahui kebiasaan, kesukaan, pekerjaan,dan pribadi detaiil calon korban. Lalu mengirimkan tulisan puitis yang membuat gadisnya terbuai, mengirimkan kado berupa cat kuku dan sketsa-sketsa pose menjijikkan seperti  pose sadomakish dan terakhir pose calon korban di sayat lehernya dengan tetesan darah. Terakhir ia akan mengirimkan kado seuntai kalung mutiara beserta kalimat puitis dan masuklah dalam jebakan. Korban disiksa, diperkosa dengan brutal kemudian dibunuh dengan disayat lehernya. Semua korban ditemukan dalam keadaan posisi yang menggoda, satu tangan menutupi dada, tangan yang lain menutupi kemaluan dan selama bertahun-tahun ia berhasil menghilangkan jejak dan kembali melanjutkan misinya membunuh berulang-ulang gadis populer.

Selasa, 06 Desember 2022

RESENSI NOVEL THE DYING GAME BEVERLY BARTON

 Judul Asli : The Dying Game; Wanita-Wanita Pilihan Sang Psikopat

Penulis : Beverly Barton

Penerbit : Dastan

Cetakan : I, 2009

Tebal : 552 halaman

Peresensi : Elok Mayangsari 

Dari semua cerita kriminal, pembunuhan berantai adalah cerita yang paling menarik karena pelaku mempunyai pola tersendiri untuk menggaet korban dan cara membunuhnyapun bukan asal-asalan saja. Semua serba terorganisir, terencana dengan sangat rapi sehingga akan semakin sulit menangkapnya. Pelaku biasanya sangat ahli dan lihai dalam penyamaran, bukan tidak mungkin ia pernah sangat dekat dengan korban tanpa disadari. Seperti halnya dengan kasus pembunuhan berantai ini yang korbannya adalah ratu kecantikan. selama 4 tahun Grif , kepala agen Powell dan Nic dari FBI sangat kewalahan dalam menebak siapa yang membunuh korban dengan sangat kejam. Setiap korban dipilih dengan teliti baik secara fisik maupun kepribadian dan kehidupan sehari-harinya sehingga memudahkan pelaku untuk menggiring dalam perangkapnya. Ratu kecantikan dibunuh dengan cara yang berbeda-beda, tergantung dari bakat dan keahlian yang mereka punya, bila bakat menari maka kedua kaki akan dipotong, ahli biola maka kedua tangan dan lengan yang menjadi sasaran, seorang penyanyi maka leher yang digorok, sadis bukan?

Gale Ann Cane, Miss Universe yang sangat pandai menari, ditemukan oleh kakaknya dalam keadaan mengenaskan, kedua kaki jenjangnya yang dipakai untuk menari dipotong dengan sadis. Ia berhasil dibawa ke rumah sakit dengan penjagaan yang ketat dan  dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia membisikkan kata dua puluh poin dan permainan sebagai kata terakhir. Ya, ini adalah permainan kematian, dimana setiap korban diberi nilai poin yang berdasarkan warna rambut. 20 poin untuk warna rambut merah, 15 poin untuk warna rambut pirang dan 10 poin untuk warna rambut coklat. Selain itu di setiap TKP pasti akan ada mawar dengan warna yang berbeda karena mawar kuning untuk korban berwarna rambut merah, mawar merah muda untuk korban warna rambut pirang dan mawar merah bagi korban dengan warna rambut cokelat. 

Siapa yang menyangka permainan kematian yang hanya berawalan dari keisengan justru membuat pemainnya merasakan sensasi yang tak pernah ia duga. Baginya memainkan peranan hidup dan mati memberikan pengalaman  luar biasa yang tak pernah dialami sebelumnya. Dan lebih membuatnya merasa kecanduan dibanding dengan semua jenis narkoba yang pernah ia konsumsi. Setiap kali ia mendengar jeritan ketakutan, kesedihan dari korbannya, setiap kali itu pula ia merasakan sensasi kegembiraan dan semakin bersemangat, bergairah untuk membunuh. Semakin lama permainan ini mendekati garis akhir dan tentu saja target poin yang dikumpulkan semakin tercapai, ia harus cepat-cepat mengakhirinya dan tak ingin lawannya memenangkan permainan ini.Ya ternyata permainan ini dilakukan oleh 2 orang saudara sepupu sementara Grif dan Nic kemungkinan tidak menyadari akan hal ini. Semakin mendekati batas akhir, salah seorang pemain mengubah peraturan, yakni siapa yang kalah maka ia akan mati ditangan sang pemenang, tentu saja hal ini membuat mereka semakin tertantang dan pembunuhan pun semakin sering dilakukan.